Outsourching: Pekerja Untung atau Buntung?

Iman
4 min readMay 28, 2022

Pada awalnya Outsourcing telah lama berkembang di Indonesia terutama dalam bentuk pemborongan pekerjaan dan dilakukan untuk sektor pertambangan. Namun, diketahui Outsourching sendiri ternyata dalam pengimplementasiannya masih belum sesuai dengan yang harapan. Outsourching yang seharusnya hanya digunakan di sektor-sektor pertambangan, demi mengefesiensikan kegiatan eksport dan import di perusahaan, ternyata dengan seberiringnya waktu perkembangan outsourching malah mengakar ke seluruh bidang pekerjaan terutama di pekerjaan industri. Outsourching sendiri pada akhirnya berubah menjadi status yang diperuntukkan untuk para pekerja yang didapat dari para perusahaan penyedia pelayanan jasa kerja sehingga nantinya para pekerja tidak lagi memiliki hubungan yang kuat kepada pengusaha, mereka akan terhalangi oleh pihak-pihak perusahaan pelayanan jasa kerja tersebut.

Dapat dilihat jika di lapangan sendiri, Outsourching bertindak sebagai alat yang digunakan pengusaha sebagai tameng dalam menghadapi tuntutan-tuntutan para pekerja. Outsourching bertindak sebagai media yang dimana sebenarnya malah memutuskan tali hubungan antara para pengusaha dengan para pekerja. Sehingga para pekerja tidak bisa menuntut hak-hak mereka secara langsung terhadap pihak pengusaha tempat mereka bekerja, padahal kita tahu bahwa didalam pelaksanaan perjanjian kerja sudah semestinya diantara keduanya, yakni pengusaha dan pekerja harus saling menguntungkan sekaligus menyadari bahwa mereka saling membutuhkan. Misalnya, jika buruh menuntut hak-hak mereka termasuk upah yang sesuai, sedangkan di pihak lain pengusaha tidak sanggup maka jalan terakhir adalah perusahaan akan tutup. Jika hal ini terjadi maka pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan. Di sisi lain jika pengusaha tidak memberikan hak-hak mereka sebagai pekerja termasuk upah yang sesuai, padahal perusahaan mampu memberikannya maka akan menyebabkan pergolakan-pergolakan antar pekerja yang akibatnya dapat menurunkan tingkat loyalitas pekerja sehingga hasil produksi pun turun. Hubungan yang terbentuk bukan lagi diisi oleh dua pihak seperti seharusnya, melainkan menjadi tiga pihak yaitu para pengusaha, para perusahaan penyedia jasa layanan pekerja Outsourching dan para pekerja. Realitanya para perusahaan penyedia jasa ini pun berpihak pada perusahaan bukan pada pekerja, sehingga pengusaha berpikir bahwa mereka memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memonopoli para pekerja dan inilah yang merugikan para pekerja.

Jika dilihat dari kedua perspektif, yakni antara para pengusaha dan pekerja maka dapat dilihat bahwasannya dari pihak perusahaan sendiri mereka diuntungkan; dikarenakan outsourching sangat membantu perusahaan untuk bertahan. Misalnya, perusahaan akan dapat meningkatkan keuntungan bisnisnya, Perusahaan dapat menghemat keuangan dan dapat dimanfaatkan untuk keperluan yang lain, perusahaan tidak perlu lagi pusing melakukan seleksi terhadap para calon pekerja dikarenakan melalui Perusahaan outsourching tadi, sudah pasti mereka menyediakan pekerja yang terlatih dan kompeten dalam bidangnya, lalu perusahaan tidak lagi berurusan secara langsung dengan para pekerja dikarenakan sudah ada pihak ketiga yang berperan diantara keduanya; yakni perusahaan penyedia jasa layanan pekerja outsourching.

Sedangkan dari para pekerja, mereka melihat Outsourching sebagai permasalahan. Begitu banyak kerugian yang mereka dapat dari perusahaan, misalnya mengenai janji kontrak mereka sebagai pekerja tidak tetap dalam rentan waktu tertentu sehingga sulit bagi mereka untuk mendapatkan hak dan jaminan layaknya para pekerja yang berstatuskan resmi dari perusahaan seperti status karyawan. Acapkali perjanjian kerja untuk buruh kontrak tidak dibuat secara tertulis, hal ini yang membuat mereka tidak memiliki status yang kuat di mata perusahaan. Perjanjian-perjanjian tersebut misalnya berupa pembayaran upah yang sesuai, adanya jaminan sosial seperti BPJS, adanya uang hari raya, jaminan keselamatan kerja dan pensiun hari tua, pesangon bagi yang berakhir kontrak kerja, lalu ada hak-hak mereka sebagai pekerja seperti hak cuti menstruasi dan hamil bagi perempuan, hak cuti tahunan dan lain sebagainya. Akan tetapi, sebagai pekerja berstatus Outsourching mereka sulit mendapatkan ini, lagi-lagi mereka tidak memiliki perjanjian yang kuat dengan perusahaan. Mereka hanya berstatus sebagai buruh bayaran harian (atau dikenal sebagai Buruh Harian Lepas (BHL)). Ditambah dengan pihak pengusaha yang juga mengambil kesempatan atas celah-celah yang diterima pekerja; mereka selalu memberikan penekanan terhadap para pekerja misalnya seperti masa training yang lama, janji perpanjangan kontrak sebagai karyawan yang tak kunjung terjadi alih-alih perusahaan berulang-ulang memperpanjang kembali masa pekerja status Outsourching (buruh/pekerja kontrak) yang dimana masa kontrak mereka hanya tiga tahun, bukan lima tahun seperti para pekerja yang berstatus karyawan, selain itu pihak pengusaha pun over supply tenaga kerja, perusahaan tidak menjadi khawatir jika memberhentikan pekerja karena masih banyak pencari kerja yang lain dan akan lebih mudah juga untuk mengeluarkan (memecat/ memutuskan kontrak kerja) para pekerja tanpa harus memperhatikan regulasi yang ada; misalnya jika pekerja dinilai tak produktif lagi untuk keuntungan perusahaan. Maka inilah bentuk-bentuk pelanggaran yang telah dilakukan perusahaan terhadap para pekerja; jauh lebih banyak dan berbanding terbalik dengan sekedar ketakutan-ketakutan pihak perusahaan terhadap pelanggaran yang dilakukan para pekerja mengenai loyalitas mereka terhadap perusahaan. Dari fenomena ini dapat dilihat bahwa adanya Outsourching hanya memperberat status masyarakat sebagai pekerja dan terlebih tidak adanya perlindungan terhadap para pekerja semakin menyingkirkan harkat martabat masyarakat sebagai pekerja.

Sumber gambar: https://cdn-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/demonstrasi-buruh-di-depan-gedung-dpr_20220207_131658.jpg

--

--

Iman

An Indonesian Political Student who likes writing everything but mostly politics, education and life.