Meraih Kepercayaan Publik, Partai Politik Harus Bagaimana?

Iman
5 min readMay 26, 2022

Dalam demokrasinya, Indonesia juga menggunakan sistem multipartai sebagai bentuk dukungan atas keterbukaan dan kebebasan siapapun untuk ikut berpolitik, berpartisipasi dan bahkan berkompetisi melalui pemilu. Sistem multipartai ini pada akhirnya mendorong para elite politik untuk membentuk suatu organisasi besar yang dikatakan sebagai partai. Hingga saat ini, sudah berbagai macam partai yang dibuat, dengan seberiringnya waktu pun partai-partai itu semakin banyak dan berkembang.

Namun, tidak bisa terelakkan jika ketidaksempurnaan pertumbuhan demokrasi dan politik pada akhirnya hanya membuat demokrasi sebagai praktik yang cenderung diwarnai oleh kepentingan para elite. Hal ini semakin parah dengan adanya fenomena-fenomena buruk yang dibuat oleh anggota partai politik; budaya korupsi yang sejak lama ikut mencampuri kekuasaan di Indonesia membuat demokrasi hanya sebagai alat orang-orang kapitalis dalam meraih kekayaan. Selain itu, jika membahas partai-partai politik sekarang ini, kita sering melihat bahwa sering terjadi gesekan internal di dalam partai; sering sekali kita melihat sesama anggota partai saling bersitegang untuk merebut jabatan dalam partai — misalnya kasus yang baru-baru ini terjadi di antara anggota partai Demokrat yang diduga melakukan pengkudetaan sesamanya. Dari hal ini dapat dilihat bahwasannya tujuan diberdirikannya partai politik bukan lagi sebagai alat atau media dalam menyampaikan aspirasi politik, melainkan partai politik digunakan sebagai media bagi para elite dalam meraih kekuasaan mereka di pemerintahan. Dosa-dosa yang dilakukan partai politik terlihat begitu besar, misalnya tindakan-tindakan money politics yang acapkali terjadi dilingkungan partai, konflik internal, bahkan tindakan-tindakan tak etis dalam usaha menjatuhkan partai satu sama lain secara terang-terangan menjadi sebuah hal yang terlihat biasa dikalangan partai. Hal inilah pada dasarnya yang dilihat oleh masyarakat; kalangan publik melihat ini sebagai suatu pemburukan citra — citra partai dihadapan kalangan publik sudah buruk.

Banyak masyarakat yang merasa anti jika membicarakan hal-hal berbau politik, terlebih atas hal-hal yang telah terjadi kurun waktu ini. Selama pandemik ini, sudah banyak peristiwa-peristiwa yang semakin membuka mata masyarakat mengenai kelakuan para elite politik, antara lain misalnya seperti kasus Omnibus Law, kasus KPK, pengkudetaan partai, elit-elit politik yang diduga menyimpan harta mereka di bank luar agar terhindar pajak, kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah, lambannya penyelesaian Virus Corona-19, lalu disusul dengan hilangnya empati partai politik yang lebih memilih melakukan pemilu dan promosi di waktu-waktu pandemik (bisa dilihat dengan tindakan promosi yang dilakukan oleh dua elit politik dalam pemilu presiden 2024) serta belum lagi dengan kasus-kasus konflik antara masyarakat (OPM) dengan pemerintah yang tak kunjung selesai benar-benar membuat masyarakat semakin tidak percaya dengan pemerintah — termasuk partai-partai politik sebagai partai usungan mereka.

Lalu apa yang bisa dilakukan partai politik untuk membuat kepercayaan publik kembali kepada mereka?

Yakni dengan membenahi sistem partai politik mereka. Di Indonesia, kita dapat melihat bahwa di dalam partai politiknya, tidak ada satupun yang benar-benar memegang ideologi (prinsip politik mereka) dengan jelas. Sulit sekali melihat keberadaan ideologi partai di Indonesia; bahkan para peneliti mengatakan bahwa Partai Politik Indonesia cenderung bergerak berdasarkan kemauan rakyat — hal ini dilakukan semata-mata untuk meraih suara rakyat saat pemilu. Ini yang membuat partai politik di Indonesia sulit bergerak dikarenakan mereka hanya mengikuti arus dari masyarakat, tujuan yang mereka lakukan semata-mata bukan lagi untuk menciptakan visi misi mereka, melainkan hanya untuk menang dan eksis di mata masyarakat. Sekalipun ada yang memiliki ideologi, tidak diterapkan sepenuhnya. Jika kita lihat dari posisi ideologinya, partai-partai sekarang tidak mempunyai kecondongan dalam satu ideologi, baik dari bassis Nasionalis dan bassis Islam. Mereka semua cenderung ditengah-tengah (yaitu antara Nasionalis dan menuju Islam begitupula sebaliknya ; Populis ->Demokrasi -><-Islam Moderat <-Islam Konservatif. Disini bisa dilihat bahwasannya partai-partai sekarang lebih cenderung untuk mencari aman atau berusaha agar menggapai semua suara dari kalangan rakyat manapun, ditambah dengan masyarakat Indonesia yang plural maka dari itu mereka memutuskan untuk berada ditengah-tengah saja dan hal ini pada akhirnya membuat partai menjadi tak efektif karena tidak memiliki ideologi yang jelas.

Seharusnya, partai politik wajib memiliki ideologi yang jelas agar visi dan misi mereka dapat terorganisir dengan baik serta jelas arah mereka akan dibawa kemana, bukan mengikuti arus yang diberikan oleh rakyat.

Setelah itu, partai politik di Indonesia harus membenahi sistem jabatan di dalam partai; dikarenakan hal ini acapkali diduga sebagai masalah internal yang mengganggu kinerja partai. Dampak dari pembenahan ini diharapkan agar partai sendiri mampu menjalankan fungsi mereka dengan lebih baik dan terarah, terlebih permasalahan pemegang jabatan ini bukan lagi permasalahan yang biasa. Jika kita telisik lebih dalam, hampir beberapa partai politik yang tercipta ternyata diketuakan atau dianggotakan dari partai-partai sebelumnya akibat permasalahan jabatan. Jika hal ini terus terjadi, maka publik dapat menilai bahwa keberadaan partai hanyalah sekedar sebagai tempat untuk mencari kekuasaan dan keelektibilitasan, bukan lagi sebagai wadah masyarakat dalam mengaspirasikan kemauan mereka. Lalu mengenai perektrutan anggota partai, termasuk dalam proses pencalonan wakil-wakil rakyat; ini merupakan proses yang paling riskan, terlebih mereka bukan hanya mewakili partai mereka akan tetapi juga mewakili masyarakat sendiri di kursi pemerintahan. Kasus-kasus korupsi yang terjadi dilingkungan pemerintahan bukan lagi sebagai suatu hal yang mengejutkan, begitu banyak anggota-anggota partai yang berakhir ditangkap sebagai koruptor. Hal ini sesungguhnya ikut mencederai citra partai politik yang sudah dibangun, terlebih kepercayaan publik atas kinerja partai sendiri. Sudah semestinya bagi partai untuk menyaring dan mengawasi kader-kadernya karena tindakan-tindakan ini merupakan bentuk penghianatan yang dilakukan terhadap publik.

Selanjutnya, mengenai aksi-aksi nyata yang dilakukan oleh partai politik; sering sekali kita melihat tindakan-tindakan yang dilakukan oleh partai politik tidak dilakukan setiap saat melainkan hanya dilakukan pada momen-momen menjelang pemilihan umum. Perilaku-perilaku seperti inilah yang semakin lama akan membuat rakyat sadar bahwa partai politik beserta elite-elitenya tidak benar-benar peduli dengan rakyat; mereka hanya sedang berpura-pura mencari simpati rakyat agar dapat meningkatkan popularitas serta elaktabilitas terhadap suara mereka di pemilu. Lagi-lagi, hal ini dilakukan hanya demi memenangkan kompetisi semata. Partai bukan lagi sebagai alat representatif bagi rakyat, melainkan wadah bagi para elite politik untuk meraih kekuasaan dan memobilisasi rakyat. Melihat hal ini, partai politik harus segera mengevaluasi dan mendesain kembali kinerja mereka — yang bukan semata-mata untuk suara, melainkan benar-benar merepresentasi rakyat.

Tokoh, ternyata pengaruh tokoh di dalam partai politik pun ikut memberikan dampak terhadap citra partai di depan publik. Ini dibuktikan dengan kemenangan-kemenangan partai yang ternyata secara tidak langsung didorong oleh elaktabilitas yang dimiliki tokoh. Semakin tokoh di dalam partai itu berpengaruh di depan masyarakat, maka akan lebih mudah bagi mereka untuk mendapat perhatian dari publik. Namun dari fenomena ini, hal buruk malah terjadi, partai politik pun akhirnya menjadi di-overshadow (dibayang-bayangi) oleh nama tokoh, bukan lagi sebaliknya. Jika dilihat dari keberlangsungannya, maka perlahan hal ini akan membuat partai tidak lagi melihat kinerja mereka; yang mereka lihat bagaimana untuk mendongkrak nama baik tokoh mereka, bukan lagi mengenai kualitas partai mereka sendiri. Dan lagi-lagi, masyarakatlah yang akan terhianati, nyatanya masih banyak masyarakat yang hanya melihat kinerja partai melalui nama baik sang tokoh, jika hal ini terus terjadi maka rakyatlah yang akan paling banyak dirugikan.

— —

Sumber gambar:

https://cdnuploads.aa.com.tr/uploads/Contents/2020/08/26/thumbs_b_c_f3fe17a4166438a556f8e3c79e9f35c8.jpg?v=154011

--

--

Iman

An Indonesian Political Student who likes writing everything but mostly politics, education and life.