Fenomena Calon Tunggal di Dalam Pilkada, Suatu Problematika?

Iman
7 min readJan 1, 2023

Ketika membicarakan Otonomi Daerah, hal utama yang harus dilihat bahwa otonomi daerah sendiri merupakan salah satu cara pemerintah pusat dalam memberikan kekuasaan yakni wewenang bagi pemerintah daerah dalam menjalankan urusan-urusan rumah tangga daerahnya sendiri melalui pemberian daerah otonom. Setiap wewenang meliputi atas tanggung jawab yang ditanggungkan kepada pemerintah daerah, dimana bentuk kewenangan ini adalah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat daerah menurut prakarsa sendiri yang didasarkan atas aspirasi masyarakat. Tanggungan ini merupakan salah satu cara bagi pemerintah pusat dalam memberikan keadilan dan merupakan wujud dalam menjunjung pemerintahan yang demokrasi. Rakyat melalui para wakil mereka, turut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan, berdasarkan otonomi daerah yang dibangun di dalam sistem pemerintahan desentralisasi. Kekuasaan ini pun bukan hanya meliputi pemberian wewenang kepada pemerintah daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri — yakni yang berkaitan dengan pembangunan dan pengembangan ekonomi daerah — tetapi pemerintah pusat juga memberikan wewenang kepada pemerintah daerah dalam menentukan kepala daerahnya masing-masing yang sesuai dan didasarkan atas kehendak rakyat daerah yaitu dengan cara melalui pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebagai bentuk penyelenggaraan otonomi daerah yang bertujuan untuk meraih negara yang demokratis.

Dalam otonomi daerah, jabatan kepala daerah merupakan posisi strategis yang nantinya menentukan maju atau tidaknya program pembangunan di suatu daerah. Tujuan dilaksanakan pilkada ini pun semata-mata bukan hanya melepaskan tanggung jawab pemerintah pusat yang sebelumnya secara sentralistik menjadi aktor utama dalam pemilihan kepala daerah (kepala daerah dipilih langsung oleh pemerintah pusat) tetapi dengan adanya pilkada ini merupakan bentuk upaya nyata yang dilakukan pemerintah pusat untuk mewujudkan sistem yang demokrasi, serta sesuai dengan kemauan rakyat. Walau sebenarnya bukan berarti pemerintah pusat akan melepaskan sepenuhnya tanggung jawab mereka pada pemerintah daerah, dikarenakan pada hakekatnya setiap kepala daerah yang terpilih nantinya akan tetap dipantau dalam setiap pergerakannya; yaitu untuk menjalankan tugas dari wewenang yang diberikan oleh pemerintah pusat yang berarti kepala daerah terpilih pun nantinya tetap harus bertanggung jawab terhadap pemerintah pusat.

Oleh sebab itu Pilkada sendiri pun diyakini sebagai suatu wadah dan sarana bagi rakyat dalam menentukan pemimpin yang diharapkan nantinya dapat memimpin dan menjalankan aspirasi mereka di pemerintahan, termasuk dalam pemilihan kepala daerah dengan ruang lingkup yang lebih kecil seperti Provinsi ataupun Kabupaten/Kota dalam periode-periode waktu tertentu. Di negara demokrasi, pemilu sendiri pun dijadikan sebagai tolak ukur dalam demokrasi; dimana diharapkan bahwa proses yang diselenggarakan secara terbuka dapat memberikan keadilan bagi siapapun terutama untuk rakyat. Pilkada juga merupakan hak konstitusional yang menghubungkan rakyat untuk berpartisipasi dalam pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Wakil kepala daerah tersebut menurut UUD 1945 pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yakni meliputi Gubernur, Bupati, Walikota yang masing-masing menjadi kepala pemerintah atas bagian daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis.

Akan tetapi apakah dalam setiap prosesnya, penyelenggaraan Pilkada yang dilakukan dapat selalu mewujudkan nilai-nilai demokrasi tersebut?

Setiap penyelenggaraan pilkada ternyata pada realitanya tidak selamanya mampu mewujudkan nilai-nilai demokrasi yang diidamkan. Kontestasi elektoral yang dilakukan dalam menyeleksi calon-calon pemimpin daerah yang ditentukan atas hasil voting terbanyak ini ternyata belum tentu mampu menggambarkan hasil yang demokrasi. Banyak hal diluar dari kendali pilkada yang mempengaruhi kualitas demokrasi, salah satunya adalah mengenai fenomena calon tunggal yang terjadi saat ini yang dimana cukup banyak terjadi di pemilihan beberapa daerah.

Fenomena ini merupakan salah satu hal yang dinilai dapat mengurangi esensi serta kualitas demokrasi, dan dapat menjadi suatu problematika tersendiri di dalam penyelenggaraan pilkada. Adapun sebenarnya fenomena calon tunggal sendiri bukan merupakan hal yang baru terjadi, tetapi dampak yang diberikan cukup memberikan pengaruh terhadap kualitas demokrasi sendiri; adanya calon tunggal ini secara langsung menutup kesempatan masyarakat untuk memiliki banyak calon pilihan terbaik. Hak rakyat dalam memilih pun seakan menjadi tercabut, dikarenakan tidak ada variasi calon yang dipilih — kecuali satu calon yang ada dengan melawan kotak kosong. Masyarakat seakan-akan tidak memiliki pilihan kecuali memilih calon pemimpin daerah yang ada atau tidak memilih calon tersebut sama sekali.

Pemerintah dan DPR mengakui bahwa fenomena calon tunggal ini merupakan kondisi yang tidak terprediksi; di dalam undang-undang sendiri yakni di UU №8 Tahun 2015 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota pasal 48, 49, 50, 51, 52 dan 56 hanya menekankan pada ‘menetapkan dua pasangan calon’. Sehingga jika dua pasang calon tidak terpenuhi (minimal) maka solusi yang diberikan hanyalah dengan menunda penetapan calon dan kembali membuka pendaftaran tetapi tidak memberikan solusi mengenai bagaimana jika pada pendaftaran selanjutnya ternyata tetap menghasilkan calon tunggal sehingga akhirnya acap kali kita melihat adanya pilkada yang hanya dihadiri oleh satu peserta saja, dan tentu ini sangat merugikan masyarakat terutama dalam menyediakan kesempatan mereka untuk memiliki pemimpin daerah yang terbaik. Walau sebagian lagi mengatakan bahwa fenomena calon tunggal ini sebenarnya masih dalam taraf yang dapat diterima, dengan alasan jika di dalam pelaksanannya para calon tunggal ini masih tetap harus berkompetisi di pilkada walaupun hanya melawan kotak kosong tetapi secara sistematis mereka tetap mengalami proses seleksi yang sesuai dengan peraturan pilkada dan memungkinkan juga bagi para calon tunggal ini untuk kalah jika hasil voting mereka tidak bisa melampaui kotak kosong. Tetapi di sisi yang lain, jika melihat dari sisi demokrasi fenomena ini seakan mengurangi kualitas demokrasi yang berupaya untuk menghasilkan pemimpin yang paling terbaik — kredibel, bertanggung jawab dan benar-benar yang diinginkan rakyat. Bukan hanya memilih atas dasar ‘calon pemimpin yang disediakan’ oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah, sehingga masyarakat lagi-lagi hanya datang ke tempat pemilihan suara dan semata-mata hanya menyoblos tanpa mengerti apa esensi mereka melakukan itu. Lantas apa yang menyebabkan terjadinya fenomena calon tunggal ini terjadi? Secara singkat, fenomena ini kian terjadi dikarenakan adanya beberapa faktor yang mengugurkan para calon peserta antara lain yakni tidak bisa lolos administrasi persyaratan, tidak mampu menyerahkan rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap yang sesuai dengan persyaratan (bagi calon peserta independen) hingga tidak mendapatkan dukungan dari partai pengusung manapun.

Lalu, apakah fenomena calon tunggal ini dapat mewujudkan nilai-nilai demokrasi?

Pada hakekatnya setiap kepala daerah haruslah melewati serangkaian pemilihan yang demokratis yakni melalui proses kontestasi, akan tetapi suatu kontestasi ini tidak hanya dapat dimaknai sebagai ‘adanya pasangan calon lebih dari satu’ akan tetapi secara substansial juga harus mampu memberikan jaminan ruang bagi rakyat untuk mewujudkan kedaulatan mereka melalui hak dipilih dan hak memilih. Kemudian bagaimana dengan hanya adanya satu calon pasangan, apakah dapat memberikan jaminan tersebut untuk rakyat? Kita dapat mengartikan bahwa ragamnya calon kepala daerah pun bahkan belum tentu mampu mewujudkan nilai demokrasi secara sempurna, banyaknya calon kepala daerah pun terkadang belum bisa menjamin apakah calon-calon kepala daerah ini akan memberikan performa yang terbaik atas tuntutan-tuntutan rakyat apalagi hanya dengan satu calon, tentulah tidak mampu memberikan jaminan atas demokrasi yang diinginkan rakyat, yaitu memberikan kesempatan masyarakat untuk mempunyai pilihan terbaik di antara calon yang ada untuk memimpin dan membangun daerahnya. Selain itu partai politik juga seharusnya menjadi momok terbesar atas proses perekrutan setiap calon kepala daerah. Namun, di sisi lain masih banyak partai yang melihat calon kepala daerah sebagai investasi mereka untuk maju ke pemerintahan bukan melihat mereka atas dasar kinerja dan kapabilitas yang dimiliki walaupun masih banyak juga partai-partai yang melihat atas hal ini, namun untuk saat ini partai lebih melihat calon-calon ini dari sisi popularitas di kalangan publik; seberapa terkenal mereka dimata masyarakat tanpa memandang kualitas mereka; partai lebih melihat kuantitas daripada kualitas — walau tidak menutup kemungkinan jika calon-calon tersebut sekaligus orang-orang yang berkualitas. Namun, tetap saja hal ini tidak bisa dilakukan. Bagaimana bisa disetiap daerah, hampir semua partai hanya menjadi pengusung untuk satu calon saja padahal masih banyak calon yang juga memiliki kemampuan yang sama.

Kemudian dilain sisi tindakan yang diambil oleh partai-partai politik ini secara tidak langsung telah menutup kesempatan yang sama bagi para bakal calon yang lain — lagi-lagi pemilihan kepala daerah yang hakekatnya merupakan langkah dalam menjalankan demokrasi hanya dijadikan sebagai ajang dalam tujuan tertentu, salah satunya untuk meraih kursi pemerintahan dan kemenangan atas voting suara. Para bakal pasangan calon (bapaslon) tersebut pun mundur dikarenakan tahu bahwa sulit bagi mereka untuk mendapatkan dukungan yang sesuai, terlebih mereka yang tidak difasilitasi oleh dukungan partai pun terlihat pesimis akan hasil yang dituai nantinya. Sampai sekarang rasanya sulit jika mencalonkan diri ke kompetisi elektoral secara independen tanpa bantuan partai, terlebih tidak memiliki pengaruh yang sangat kuat sebagai seorang tokoh di masyarakat. Dan tak bisa ditampik jika hal-hal seperti ini adalah diluar dari kendali Pilkada, namun fenomena ini memang benar adanya.

Tujuan dilaksanakan pilkada sebagai bentuk penyelenggaran otonomi daerah dalam meraih demokrasi pun tidak bisa terealisasikan dengan baik, hal ini hanya menjadi suatu problematika yang belum mampu untuk diselesaikan. Kekhawatiran pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal akan menurunkan kualitas demokrasi. Apabila pemerintah terus membenarkan adanya calon tunggal di pemilihan kepala daerah, maka hal-hal yang tak diinginkan mungkin bisa saja terjadi misalnya seperti adanya perjanjian-perjanjian kotor yang dilakukan oleh orang-orang berkuasa (misal para pemangku kepentingan; pengusaha-pemodal) untuk membeli partai-partai politik agar hanya mencalonkan satu pasangan calon saja; atau membentuk kerjasama dengan para partai politik di daerah untuk melayangkan dukungan kepada salah satu calon atas perjanjian yang dibuat demi meraih keuntungan-keuntungan kelompok atau pribadi tertentu yang lagi-lagi nantinya akan merugikan rakyat, sekaligus mencoreng nilai-nilai demokrasi yang jujur, adil, transparan dan pastinya sesuai dengan kehendak rakyat. Jika hal ini tidak menemukan titik temu (terutama dalam sisi hukum) maka akan ditakutkan pilkada yang seharusnya menjadi ajang dalam mewujudkan demokrasi malah menjadi ajang monopoli kekuasaan untuk pihak-pihak tertentu.

Demokrasi sendiri merupakan usaha dalam mendapatkan persamaan politik dan pemberian hak suara yang setara kepada semua orang untuk menentukan pilihannya.

--

--

Iman

An Indonesian Political Student who likes writing everything but mostly politics, education and life.